“Aisyah, mohon ijinkan suamimu ini untuk
berjihad!”, bujuk rayu suamiku untuk kesekian kalinya.
“Astagfirullah, abi. Tolong kasihani aku ! kita ini
calon orang tua, gimana anak kita nanti kalo terjadi apa-apa sama kamu, tinggal
menghitung hari aku akan menjadi ibu dan kamu jadi ayah ?” isakku membantah
keinginannya untuk kesekian kalinya.
Sudah dari beberapa hari yang lalu suamiku meminta
ijin untuk menjadi relawan Komite
Solidaritas Indonesia
untuk Pelestina (Kispa). Sedikitpun aku tak berani untuk membayangkan apa yang
terjadi disana. “Tidak !” itu jawaban tegasku sejak pertama kali suamiku
mengutarakan niatnya.
“abi di sini, di sampingku juga berjihad sebagai suami dan
ayah untuk putra kita nanti!, begitu banyak orang di luar sana, dan kenapa harus abi ?” aku
mempertanyakan keseriusan niatnya
“karena hati abi yang
terpanggil. Aisyah istriku sayang,, seberapa besar cintamu padaku dan seberapa
besar cintamu pada Allah ?” Tanya suamiku
“ah udah ah, abi mulai
lagi deh ! “ tangisanku tak tertahankan. Semoga calon bayi di dalam rahimku tidak
merasakan resah yang mengganggu jiwaku. Apa aku egois ya Allah ??? Karena aku
tidak sanggup merelakan suamiku untuk berjihad di jalanmu ? Apa aku berdosa
jika aku takut kehilangan imamku ?
Sudah 2 hari ini
suamiku tak lagi membahas masalah yang sama. Mungkin dia tidak mau aku terlalu
khawatir. Kesehatanku memang menurun dan sempat pendaharan kemarin. Bukan cuma
aku, keluarga besarku pun di rundung kegelisahan yang sama. Kenapa hanya
seorang Yusuf yang tergetar hatinya ? seorang penjual buku yang rela
meninggalkan keluarganya demi panggilan hatinya. Tidak !! aku benar-benar tidak
sanggup menanggung kepergiannya. Ampuni hamba ya Allah.
Malam ini suamiku
minta ijin tidur lebih awal. Mungkin dia terlalu lelah pikirku ! di tengah
sayup hening malam aku mendengar rintihan seseorang menyenandungkan ayat-ayat
suci al-Qur’an sambil terisak. Astagfirullah apa itu suara suamiku ?? sudah
hampir 3 tahun kami menikah dan ini pertama kalinya aku mendengar suamiku
menangis. Aku terbangun dan menghampirinya
“abi.. abi baik-baik
sajakah ? tolong bilang sama umi apa yang membuat abi sedih hingga menangis
seperti ini ? tanyaku pelan.
“maafkan abi aisyah,
maafkan suamimu ini !” jawabnya sambil menyeka pipinya yang basah
“abi salah apa ? kenapa
minta maaf ?” tanyaku makin heran
“maafkan abi karena
tidak bisa menghapus keinginan abi, maafkan abi karena …” air matanya kembali
berlinang, tak sanggup suamiku meneruskan kalimatnya “ pergilah bi, aku memang
mencintaimu tapi Allah lebih mencintaimu dan ini jawabanku untuk pertanyaan abi
kemarin !”
Dengan spontan suamiku
memelukku, menciumi perutku,, Ya Allah dan inilah akhirnya keputusanku.
Sudah seminggu sejak
kepergian suamiku. Tak terlewat sedetikpun aku berhenti berdzikir untuknya.
Allah pasti menjaganya. Sehat terus yah nak, abi pasti pulang untuk kita. Sudah
9 bulan usia kandunganku dan hanya menunggu hari. Rasanya berat harus melewati
proses persalinan tanpa suamiku. Tapi aku harus yakin Allah bersama kami.
Tamu pagi ini
membuyarkan lamunanku yang tengah merindu pada suamiku yah sudah 2 minggu dan
belum ada kabar dari suamiku. Dan semoga ini kabar baik. Tanpa berkata banyak
sahabat suamiku hanya memberikan sepucuk surat.
Dear umi,
Apa kabar istriku
sayang dan apa kabar jagoan abi ? Apa kabar keluarga di sana ? Aisyah, istriku
aku bersyukur Allah menghadirkanmu di hidupku. Bidadari yang aku inginkan
mendampingiku di dunia dan di akhirat kelak. Terima kasih sudah merelakan
suamimu pergi berjihad. Aku tau hatimu terluka. Maka dari itu setiap hari aku
slalu mengucapkan maaf di setiap sujudku untukmu.
Alhamdulilah aku sudah
sampai di Pelabuhan Ashdod Israel, sekitar 30 km dari Gaza bersama ratusan
relawan lainnya. Baru saja menginjakan kaki di tanah ini, sudah berguguran
sahabat-sahabat abi oleh peluru zionis. Abi melihat senyum mereka yang tenang
karena akan bertemu sang pemilik hakiki raga dan jiwa ini. Dan alhamdulilah abi
masih baik – baik saja.
Aisyah jika kelak bayi
kita lahir, tumbuh dewasa dan aku tak bisa mengajarinya. Tolong ceritakan tentang ayahnya, tentang agamanya,
tentang saudara-saudaranya di sini. Biarkan darah jihad pun mengalir dalam
dirinya, agar kelak diapun bisa mencintai Allah lebih dari apapun.
Aisyah sejujurnya hati
ini lebih sakit dan pedih melihat kenyataan saudara-saudara kita yang
berguguran. Ketika melihat bayi tergeletak berlumuran darah, abi berteriak “ALLAHU
AKBAR!” abi ingat jagoan kita. Ketika melihat banyak perempuan yang menjadi
korban pun abi ingat dirimu.
Aisyah.. terlalu
bingung abi tak tahu harus menyampaikan apa. Shubuh ini, Abi hanya ingin menyempatkan menyapamu dalam
selembar kertas. Hanya supaya jika kelak Allah tak lagi mempertemukan kita, abi tak akan menyesalinya.
Aisyah apakah bayi
kita sudah lahir ? kamupun pasti sedang berjihad. Aku slalu di sampingmu
istriku, dalam doa. Bahkan aku bersalah karena belum menyiapkan nama panjang untuk putra kita, hanya nama iman yang terpikir.
Aisyah sampaikan
maafku untuk ayah dan ibuku, untuk keluarga yang kutinggalkan jika aku tak bisa
memenuhi harapan mereka untuk pulang. Aku hanya akan ikhlas dengan apapun yang
Allah gariskan untukku.
Aisyah istriku, aku sangat mencintaimu.
ada gambar di balik suratnya
Dari suamimu : Yusuf habibie.
Ketakutanku memang
terjadi. Engkau mengambil apa yang memang hakmu Ya Allah, ikhlaskan hatiku.
Ketika suamiku menghembuskan nafas terakhirnya engkau pun memberi nyawa untuk “Iman al Jihad”
bayi kami. Yusuf habibie, suamiku tak pernah kembali dan aku hanya mendengar
dari sejumlah media relawan Indonesia meninggal. Dan ada namamu disana. Engkau
telah mendapatkan jihadmu suamiku, dan Allah telah memberikan jihadku. Semoga
tak lagi kudengar isak tangismu di sana. Di tempat termulia untuk para
pejihad,,,
Yusuf habibie suamiku, akupun sangat mencintaimu